Senin, 31 Agustus 2009

SAYA DAN PEREMPUAN ANEH...

Saya pertama kali bertemu dengan perempuan itu kira-kira dua minggu yang
lalu. Hampir saya berteriak
kaget ketika masuk ke dalam angkutan KWK 02 dan bertubruk pandang
dengannya. Apalagi tak seorang pun
ada dalam angkutan jurusan Cililitan-Cilangkap itu.

Waktu menunjukkan pukul 22.00. Malam pekat. Saya pulang dari TIM, usai
rapat dengan teman-teman
Dewan Kesenian Jakarta. Saya memang sengaja tak naik taksi, agar bisa lebih
hemat. Ah, saya menarik napas tak
panjang. Perempuan itu tak berkedip menatap saya.Saya membuang wajah ke
jalan raya, tak mau balas
menatap. Ya Allah, siapa dia? Kapan ia turun? Di mana ia turun? Ada apa
dengannya? Pertanyaan-pertanyaan itu
berkecamuk di benak saya. Apakah ia gila? Mau menodong? Apa ia akan
membayar ongkos? Atau perlu saya bayari?

Akhirnya, setelah cukup lama berdua-dua di angkot,perempuan itu pun turun
di depan panti jompo,
Cipayung. Entah mengapa saya merasa lega sekali.

Setelah kejadian tersebut saya masih beberapa kali bertemu perempuan itu.
Sukar bagi saya
menggambarkan sosoknya. Ia legam dan sedikit bungkuk. Badan pendek, seolah
bersisik. Rambutnya pendek dan
acak-acakan, seperti tak pernah disisir.. Matanya bulat seolah mau keluar
dari kelopak. Bibir sumbing
sedang giginya panjang tak beraturan. Ia memakai baju kumal yang membuatnya
semakin kusam saja.
Pergelangan tangannya dipenuhi gelang karet berwarna-warni.

Dua kali saya bertemu dalam angkot. Pertama hanya berdua, dan berikutnya
beramai-ramai dengan 6-7 orang
lainnya. Semua tak ada yang 'berani' melihatnya.Ia seperti orang yang entah
datang dari mana dan
terus menatapi para penumpang satu persatu. Malah setelah ia turun dari
kendaraan, seorang lelaki berkata:
"Gila, saya kira penampakan! Serem banget tuh perempuan!"

Setelah pertemuan kedua, entah mengapa saya mulai berpikir bahwa ia
hanyalah perempuan biasa
seperti juga saya. Ia mungkin bekerja di suatu tempat sebagaimana saya.
Wajahnya memang seram, namun
bukankah ia tak pernah sekalipun mengganggu?

Hari berikutnya, KWK 02 yang saya naiki dari Cililitan, dipenuhi penumpang.
Saya melihat
perempuan itu naik dari Kramat Jati. Begitu ia hadir, hampir semua
penumpang buang muka atau menunduk.
Pokoknya tak mau melihat, dan kalau bisa tak dekat dengannya.

Ia masuk, mengangguk pada saya. Saya terpana dan membalas anggukannya. Tak
lama seorang ibu-yang
tampak terrpelajar-membagi-bagikan brosur dalam angkot.

"Ada lowongan kerja di perusahaan saya. Langsung daftar aja. Gajinya
lumayan loh," katanya.

Semua orang mendapat brosur, tapi tidak perempuan itu.

Tiba-tiba saya merasakan sesuatu di batin saya.Mengapa ibu itu tak mau
memperlakukan wanita
tersebut
sederajat dengan penumpang yang lain? Apa karena ia buruk rupa? Apa karena
ia dianggap tak pantas,
meski sekadar memegang brosur wangi itu? Lantas mengapa jadi saya yang
sedih?

Entah datang darimana, tiba-tiba saya sudah menyapa perempuan 'aneh'
itu."Kemana, mbak?
Kita sudah beberapa kali bertemu ya? Ingat nggak?" sapa saya.
Beberapa orang di dalam angkot nyaris terbelalak memandang saya seakan-akan
saya adalah orang aneh
lainnya di sana. Saya tersenyum saja.

"Iya mbak. Saya mengenali mbak," tuturnya sopan.

"Saya juga," saya tertawa.
"Mbak dari mana? Kerja atau...?"

Saya mencoba untuk tak mempersoalkan wajahnya. Ya Allah, hanya Engkau yang
sempurna. Kami hanya
sesama hambamu. Tak ada yang lebih di mataMU dari kami,selain taqwa kami.
Sungguh, siapa menjamin aku lebih baik dari perempuan ini.

Tak lama kami sudah mengobrol dengan asyik. Perempuan itu bercerita, ia
menjaga anak kakaknya
bila sang kakak pergi bekerja.

Kakak saya yang menggaji saya," katanya tertawa.Ia hampir setiap malam naik
angkutan 02.

Lalu kami ngobrol soal hujan, banjir, soal panti balita dan panti jompo di
dekat rumahnya, sampai
soal tsunami. Saya sampai kaget sendiri bisa sejauh itu.

Tak lama, perempuan tersebut bersiap turun. Namun apa yang ia katakan
sebelum sosoknya berlalu,
tak mungkin bisa saya lupakan.

"Semoga Allah menjaga Mbak. Saya senang akhirnya ada orang yang mau negur
saya, yang ngajak ngomong di
angkot. Terimakasih ya. Assalaamu'alaikum," suaranya bergetar seperti ingin
menangis.

Kata-kata perempuan itu berhamburan bersama angin. Namun saya sempat
menangkapnya dan sesuatu terasa
"nyes" di hati. Orang-orang dalam kendaraan itu tak
ambil pusing.

"Gila nggak sih cewek itu?" celutuk seorang pemuda pada saya.

Saya menggeleng. Benar-benar menggeleng untuk beberapa detik.

Pada akhirnya saya tahu betapa berarti, betapa mewah-nya sebuah sapa.
Bukankah sapa adalah salah satu bentuk penghargaan kita terhadap orang
lain? Maka apa
yang menghalangi kita untuk lebih sering menyapa? Bukan hanya pada mereka
yang kita kenal, yang
kebanyakan necis dan wangi. Namun juga menyapa mereka, yang tanpa sadar
telah kita sisihkan
dari jalan yang selama ini kita lalui.

Hari ini saya yakin, Mbak Sri, perempuan itu, bukan orang aneh. Ia hanya
perempuan yang
memendam rindu bertahun-tahun lamanya, hanya untuk sebuah sapa yang kau
ucapkan di malam dingin.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar