Kamis, 27 Agustus 2009

Keteladanan

Keteladanan (uswah, qudwah) barangkali merupakan salah satu barang berharga yang makin langka bagi umat saat ini. Setelah Rasulullah saw. yang dinyatakan sebagai teladan terbaik (uswah hasanah), disusul generasi para Sahabat yang disebut Baginda Nabi saw. laksana bintang-gemintang (ka an-nujûm), disusul lagi oleh generasi tâbi’în dan kemudian generasi tâbi’ at-tabi’în yang masih masuk dalam kategori generasi terbaik (khayr qûrûn), generasi umat saat ini semakin kehilangan orang-orang yang layak diteladani. Ulama memang bejibun. Para ustad begitu melimpah. Para da’i dan mubalig makin lama makin tak terhitung.

Namun, tentu tidak semua ulama, ustad, da’i dan mubalig sukses menjadi teladan bagi umatnya; baik dalam hal kualitas keimanan, ketakwaan, akhlakul karimah, kezuhudan, kewaraan, ketawadukan maupun dalam ketekunannya dalam ibadah; dalam keikhlasan, kesungguhan, kesabaran, ketabahan maupun dalam keistiqamahannya di medan dakwah; dalam hal tilawah al-Quran, salat berjamaah, salat malam, bersedekah maupun dalam menolong sesama; dalam hal berkata benar, menepati janji maupun menjaga amanah; dalam hal menghormati yang lebih tua, menghargai yang lebih muda, senantiasa berbaik sangka maupun dalam menjauhi buruk sangka; dll.

Padahal tidak diragukan lagi, para ulama, ustad, da’i dan mubaliglah yang paling banyak dan paling sering bicara tentang semua itu. Ya, umat sering menyaksikan semua itu meluncur dari mulut-mulut mereka, tetapi tidak selalu semua itu tercermin dalam perilaku mereka. Tidak jarang, ada ulama, ustad, da’i dan mubalig meminta agar jamaahnya selalu taat kepada Allah, ikhlas dan sabar dalam menghadapi ujian hidup. Namun, mereka sendiri acapkali berharap ’amplop’ habis ceramah, dan ’lemas’ saat yang ia terima ternyata tak seberapa. Istri dan anak gadis mereka pun tidak menutup aurat yang berarti tidak taat kepada Allah Swt. Mereka juga tidak jarang berkeluh-kesah dalam menghadapi kesulitan hidup.

Di antara mereka ada yang sering mendorong mad-û-nya agar selalu hidup wara’ dan zuhud. Namun, mereka sendiri cenderung ’cinta dunia’ dan menganggap enteng dosa. Mereka sering menganjurkan para mustami’-nya agar banyak bersedekah. Namun, mereka sendiri selalu berharap diberi sedekah, karena merasa sebagai pejuang di jalan Allah Swt. Tidak jarang pula, mereka memotivasi jamaahnya agar sering shalat malam, banyak membaca al-Quran dan melakukan ibadah-ibadah sunnah. Namun, mereka sendiri shalat subuhnya sering terlambat, baca al-Qurannya jarang-jarang dan ibadah-ibadah wajibnya pun sering terlalaikan.

Walhasil, memang banyak di antara mereka yang sukses menjadi orator, motivator atau tutor. Namun, banyak pula yang kemudian gagal menjadi inspirator, motor dan terutama teladan yang bisa menggerakkan umat agar menjadi yang terbaik (khayr ummah).

Terkait dengan semua ini, hendaknya setiap diri pengemban dakwah takut dengan celaan dan ancaman Allah Swt. (yang artinya):

Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu lakukan? Amat besar kebencian di sisi Allah karena kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan! (QS ash-Shaff [61]: 2-3).



*****

Dalam kitabnya, Haml ad-Da’wah Wâjibât wa Shifât, Mahmud A. Lathif Uwaidhah menegaskan pentingnya keteladanan dan contoh (qudwah wa al-mitsâl) dari para pengemban dakwah. Mereka harus menjadi ’Islam yang berjalan’. Mereka haruslah menjadi pionir yang senantiasa berbicara dengan bahasa Islam, berperilaku dengan perilaku Islam, dan berakhlak dengan akhlak Islam. Meski semua itu sebetulnya harus direpresentasikan oleh kaum Muslim secara umum, pada diri para pengemban dakwah semua itu harusnya lebih dominan dan menonjol; bukan sama, apalagi lebih buruk keadaannya daripada kaum Muslim secara umum. Sebab, jika demikian tentu mereka tak pantas disebut pendakwah. Mereka malah lebih layak untuk didakwahi.

Seorang guru idealnya lebih pintar daripada muridnya.
Seorang pimpinan harusnya lebih memiliki keunggulan atas yang dipimpinnya.
Seorang komandan sejatinya memiliki kelebihan ilmu dan pengalaman daripada bawahannya.
Seorang ulama, ustad, da’i atau mubalig idealnya tentu lebih beriman dan bertakwa kepada Allah Swt; lebih berilmu dan lebih banyak amal salihnya; lebih ikhlas dan sabar; lebih banyak bersedekah dan berkorban; lebih amanah, jujur dan menepati janji; lebih banyak membaca al-Quran dan menunaikan ibadah-ibadah sunnah, dll; dibandingkan dengan obyek dakwahnya.



Itulah yang selalu tercermin dalam diri Baginda Rasulullah saw., para Sahabat ra., dan generasi shalafush-shalih terdahulu. Perilaku mereka selalu merupakan perwujudan dari seruan dakwah mereka. Tindakan mereka tak pernah mendustakan ucapan mereka; selalu seiring dan sejalan. Sebab, mereka tentu sangat memahami, bahwa berdusta adalah dosa dan merupakan salah satu sifat orang munafik. Mereka sangat malu dan takut dengan sindiran sekaligus ancaman Allah Swt. (yang artinya): Mengapa kalian menyuruh manusia berbuat kebaikan, tetapi kalian melupakan diri kalian sendiri, padahal kalian membaca al-Kitab? Tidakkah kalian berakal? (QS al-Baqarah [2]: 44).

Mengutip Ibn Abbas dan Ibn Juraih, dalam kitab tafsirnya, Imam al-Qurthubi menyatakan, ayat ini terkait dengan perilaku para ulama Yahudi di Madinah. Mereka menyuruh umatnya untuk mengikuti mereka dalam mengamalkan Taurat, tetapi mereka sendiri mengingkarinya, terutama ketika mereka mengingkari sifat-sifat Muhammad saw. yang digambarkan dalam Taurat itu. Mereka selalu mendorong umatnya untuk senantiasa menaati Allah Swt., namun mereka sendiri sering terjatuh ke dalam kemaksiatan kepada-Nya. Mereka pun sering memerintahkan umatnya bersedekah, tetapi mereka sendiri sangat bakhil terhadap harta.

Terkait dengan perilaku demikian, Abu Umamah menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Sesungguhnya orang-orang yang biasa menyuruh manusia berbuat baik, tetapi mereka melupakan diri mereka sendiri (tidak melakukannya), akan dilemparkan ke dalam Neraka Jahanam. Mereka lalu ditanya, ’Siapa kalian?’ Mereka menjawab, ’Kami adalah orang-orang yang saat di dunia banyak menyuruh manusia berbuat baik, tetapi kami sendiri tidak melakukannya.’” (Al-Qurthubi, Tafsîr al-Qurthubi, I/365).

Nastaghfirullâh wa natûbu ilayh…! []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar