Minggu, 30 Agustus 2009

Kasih Seorang Ibu

Jalannya sudah tertatih-tatih karena usianya sudah lebih dari 70 tahun. Kalau tidak perlu sekali, jarang ia bisa dan mau keluar rumah. Walaupun ia mempunyai seorang anak perempuan, ia harus tinggal di rumah jompo karena kehadirannya tidak diinginkan. Masih teringat olehnya, betapa berat penderitaannya ketika akan melahirkan putrinya tersebut. Ayah dari anak tersebut minggat setelah menghamilinya tanpa mau bertanggung jawab atas perbuatannya.

Di samping itu, keluarganya menuntut agar ia menggugurkan bayi yang belum dilahirkan karena keluarganya merasa malu mempunyai seorang putri yang hamil sebelum nikah. Tetapi, ia tetap mempertahankannya. Oleh sebab itulah ia diusir dari rumah orang tuanya. Selain aib yang harus ditanggung, ia pun harus bekerja berat di pabrik untuk membiayai hidupnya. Ketika ia melahirkan putrinya, tidak ada seorang pun yang mendampinginya. Ia tidak mendapat kecupan manis ataupun ucapan selamat dari siapa pun juga. Yang ia dapatkan hanya cemoohan karena telah melahirkan seorang bayi "haram" tanpa bapak.

Walaupun demikian, ia merasa bahagia sekali atas berkat yang didapatkannya dari Tuhan karena kepadanya telah dikaruniakan seorang putri. Ia berjanji akan memberikan seluruh kasih sayang yang ia miliki untuk putrinya seorang. Oleh sebab itulah putrinya diberi nama Love 'Kasih'.

Siang ia harus bekerja berat di pabrik, dan malam ia harus menjahit sampai larut, karena itu merupakan penghasilan tambahan yang bisa ia dapatkan. Terkadang, ia harus menjahit sampai jam dua pagi. Tidur lebih dari empat jam sehari adalah suatu kemewahan yang tidak pernah ia dapatkan. Bahkan, Sabtu-Minggu pun ia masih bekerja menjadi pelayan restoran. Ini semua ia lakukan agar ia bisa membiayai hidup dan sekolah putrinya yang tercinta. Ia tidak mau menikah lagi karena ia masih tetap mengharapkan bahwa pada suatu saat ayah dari putrinya akan datang kembali kepadanya. Di samping itu, ia tidak mau memberikan ayah tiri kepada putrinya.

Sejak ia melahirkan putrinya, ia menjadi seorang vegetarian karena ia tidak mau membeli daging. Itu terlalu mahal baginya. Uang untuk daging yang seyogianya ia bisa beli, ia sisihkan untuk putrinya. Untuk dirinya sendiri, ia tidak pernah mau membeli pakaian baru, ia selalu menerima dan memakai pakaian bekas pemberian orang, tetapi untuk putrinya yang tercinta, hanya yang terbaik dan terbagus ia berikan, mulai dari pakaian sampai dengan makanan.

Pada suatu saat, ia jatuh sakit, demam panas. Cuaca di luar dingin sekali karena pada saat itu musim dingin menjelang hari Natal. Ia telah menjanjikan untuk memberikan sepeda sebagai hadiah Natal untuk putrinya, tetapi ternyata uang yang telah dikumpulkannya belum mencukupinya. Ia tidak ingin mengecewakan putrinya. Walaupun cuaca di luar dingin sekali, dalam keadaan sakit dan lemah ia tetap memaksakan diri untuk keluar rumah dan bekerja.

Sejak saat itu, ia terkena penyakit rematik sehingga sering kali badannya terasa sangat nyeri. Ia ingin memanjakan putrinya dan memebrikan hanya yang terbaik bagi putrinya, walaupun untuk ini ia harus berkurban. Jadi, dalam keadaan sakit ataupun tidak sakit, ia tetap bekerja. Selama hidupnya ia tidak pernah absen bekerja demi putrinya yang tercinta.

Karena perjuangan dan pengurbanannya, akhirnya putrinya bisa melanjutkan studi di luar kota. Di sana, putrinya jatuh cinta kepada seorang pemuda dari seorang konglomerat beken. Putrinya tidak pernah mau mengakui bahwa ia masih mempunyai orang tua. Ia merasa malu bahwa ia ditinggal minggat oleh ayah kandungnya dan ia merasa malu mempunyai seorang ibu yang bekerja hanya sebagai babu pencuci piring di restoran. Oleh sebab itulah ia mengaku kepada calon suaminya bahwa kedua orang tuanya sudah meninggal dunia.

Pada saat putrinya menikah, ibunya hanya bisa melihat dari jauh dan itu pun hanya pada saat upacara pernikahan di gereja saja. Ia tidak diundang bahkan kehadirannya tidaklah diinginkan. Ia duduk di sudut kursi paling belakang di gereja sambil mendoakan agar Tuhan selalu melindungi dan memberkati putrinya yang tercinta. Sejak saat itu, bertahun-tahun ia tidak mendengar kabar putrinya karena ia dilarang dan tidak boleh menghubungi putrinya. Pada suatu hari, ia membaca di koran bahwa putrinya telah melahirkan seorang putra, ia merasa bahagia sekali mendengar berita bahwa ia sekarang telah mempunyai seorang cucu.

Ia sangat mendambakan sekali untuk bisa memeluk dan menggendong cucunya. Tetapi, hal itu tidak mungkin sebab ia tidak boleh menginjak rumah putrinya. Ia berdoa tiap hari kepada Tuhan agar ia bisa mendapatkan kesempatan untuk melihat dan bertemu dengan anak dan cucunya. Karena keinginannya sedemikian besar untuk bisa melihat putri dan cucunya, ia melamar dengan menggunakan nama palsu untuk menjadi babu di rumah keluarga putrinya. Ia merasa bahagia sekali karena lamarannya diterima dan ia diperbolehkan bekerja di sana. Di rumah putrinya, ia bisa dan boleh menggendong cucunya, tetapi bukan sebagai Oma dari cucunya melainkan hanya sebagai bibi pembantu dari keluarga tersebut. Ia merasa berterima kasih sekali kepada Tuhan bahwa permohonannya telah dikabulkan.

Di rumah putrinya, ia tidak pernah mendapatkan perlakuan khusus, bahkan binatang peliharaan mereka jauh lebih dikasihi oleh putrinya daripada dirinya sendiri. Di samping itu, sering sekali ia dibentak dan dimaki oleh putrinya, darah dagingnya sendiri. Kalau hal ini terjadi, ia hanya bisa berdoa sambil menangis di dalam kamarnya yang kecil di belakang dapur. Ia berdoa agar Tuhan mau mengampuni kesalahan putrinya, ia berdoa agar hukuman tidak dilimpahkan kepada putrinya. Ia berdoa agar hukuman itu dilimpahkan saja kepadanya karena ia sangat menyayangi putrinya.


Setelah bekerja bertahun-tahun sebagai babu tanpa ada orang yang mengetahui siapa dirinya di rumah tersebut, akhirnya ia sakit dan tidak bisa bekerja lagi. Mantunya merasa berutang budi kepada pelayan tuanya yang setia ini sehingga ia memberikan kesempatan untuk menjalankan sisa hidupnya di rumah jompo. Puluhan tahun ia tidak bisa dan tidak boleh bertemu lagi dengan putri kesayangannya. Uang pensiun yang ia dapatkan selalu ia sisihkan dan tabung untuk putrinya, pikirnya, siapa tahu pada suatu saat ia membutuhkan bantuannya.

Pada tahun lampau, beberapa hari sebelum hari Natal, ia jatuh sakit lagi, tetapi kali ini ia merasakan bahwa saatnya sudah tidak lama lagi. Ia merasakan bahwa ajalnya sudah mendekat. Hanya satu keinginan yang ia dambakan sebelum ia meninggal dunia, ialah untuk bisa bertemu dan boleh melihat putrinya sekali lagi. Di samping itu, ia ingin memberikan seluruh uang simpanan yang telah ia kumpulkan selama hidupnya sebagai hadiah terakhir untuk putrinya.

Suhu di luar telah mencapai 17 derajat di bawah nol dan salju pun turun dengan lebatnya. Jangankan manusia, anjing pun pada saat ini tidak mau keluar rumah lagi karena di luar sangat dingin. Tetapi, nenek tua ini tetap memaksakan diri untuk pergi ke rumah putrinya. Ia ingin bertemu dengan putrinya sekali lagi untuk terakhir kali. Dengan tubuh menggigil karena kedinginan, ia menunggu datangnya bus berjam-jam di luar. Ia harus dua kali ganti bus karena jarak rumah jompo tempat ia tinggal letaknya jauh dari rumah putrinya. Satu perjalanan yang jauh dan tidak mudah bagi seorang nenek tua yang berada dalam keadaan sakit.

Setiba di rumah putrinya, dalam keadaan lelah dan kedinginan ia mengetuk rumah putrinya dan ternyata putrinya sendiri yang membukakan pintu rumah gedong di mana putrinya tinggal. Apakah ucapan selamat datang yang diucapkan putrinya? Apakah rasa bahagia bertemu kembali dengan ibunya? Tidak! Bahkan ia ditegur : "Kamu sudah bekerja di rumah kami puluhan tahun sebagai pembantu, apakah kamu tidak tahu bahwa untuk pembantu ada pintu khusus, ialah pintu di belakang rumah!"

"Nak, Ibu datang bukannya untuk bertamu melainkan hanya ingin memberikan hadiah Natal untukmu. Ibu ingin melihat kamu sekali lagi, mungkin yang terakhir kalinya, bolehkah saya masuk sebentar saja karena di luar dingin sekali dan sedang turun salju. Ibu sudah tidak kuat lagi nak!" kata wanita tua itu. "Maaf, saya tidak ada waktu, di samping itu sebentar lagi kami akan menerima tamu seorang pejabat tinggi, lain kali saja. Dan kalau lain kali, kalau mau datang telepon dulu, jangan sembarangan datang begitu saja!" ucap putrinya dengan nada kesal. Setelah itu, pintu ditutup dengan amat keras.

Ia mengusir ibu kandungnya sendiri, seperti juga mengusir seorang pengemis. Tidak ada rasa kasih, jangankan kasih, belas kasihan pun tidak ada.

Setelah beberapa saat kemudian, bel rumah berbunyi lagi, ternyata ada orang mau pinjam telepon di rumah putrinya. "Maaf bu, mengganggu, bolehkah kami pinjam teleponnya sebentar untuk menelepon ke kantor polisi sebab di halte bus di depan ada seorang nenek meninggal dunia, rupanya ia mati kedinginan!"



Wanita tua ini mati bukan hanya kedinginan jasmaniahnya saja, tetapi juga perasaannya. Ia sangat mendambakan sekali kehangatan dari kasih sayang putrinya yang tercinta, yang tidak pernah ia dapatkan selama hidupnya.

Seorang ibu bisa dan mampu memberikan waktunya 24 jam sehari bagi anak-anaknya, tidak ada perkataan siang ataupun malam, tidak ada perkataan lelah ataupun tidak mungkin, dan ini 366 hari dalam setahun.

taken from : Pelangi Kehidupan 1 by Teha Sugiyo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar