Minggu, 30 Agustus 2009

Kisah dari Rumi : Sang Muadzin dan suara Adzan yang menganggu

Dalam Kitab Matsnawi yang merupakan "masterpiece", Jalaluddin Rumi bercerita:

Pada zaman dahulu, ada seorang muadzin bersuara jelek di sebuah negeri kafir. Ia memanggil orang untuk shalat. Banyak orang memberi nasihat kepadanya: “Janganlah kamu memanggil orang untuk shalat. Kita tinggal di negeri yang mayoritas bukan beragama Islam. Bukan tidak mungkin suara kamu akan menyebabkan terjadinya kerusuhan dan pertengkaran antara kita dengan orang-orang kafir.”

Tetapi muadzin itu menolak nasihat banyak orang. Ia merasa bahagia dengan melantunkan adzannya yang tidak bagus itu di negeri orang kafir. Ia merasa mendapat kehormatan untuk memanggil shalat di satu negeri di mana orang tak pernah shalat.

Sementara orang-orang Islam mengkuatirkan dampak adzan dia yang kurang baik, seorang kafir datang kepada mereka suatu pagi. Dia membawa jubah, lilin, dan manis-manisan. Orang kafir itu mendatangi jemaah kaum muslimin dengan sikap yang bersahabat. Berulang-ulang dia bertanya, “Katakan kepadaku di mana Sang Muadzin itu? Tunjukan padaku siapa dia, Muadzin yang suaranya dan teriakannya selalu menambah kebahagiaan hatiku?” “Kebahagiaan apa yang kau peroleh dari suara muadzin yang jelek itu?” seorang muslim bertanya.

Lalu orang kafir itu bercerita, “Suara muadzin itu menembus ke gereja, tempat kami tinggal. Aku mempunyai seorang anak perempuan yang sangat cantik dan berakhlak mulia. Ia berkeinginan sekali untuk menikahi seorang mukmin yang sejati. Ia mempelajari agama dan tampaknya tertarik untuk masuk Islam. Kecintaan kepada iman sudah tumbuh dalam hatinya. Aku tersiksa, gelisah, dan terus menerus dilanda kerisauan memikirkan anak gadisku itu. Aku kuatir dia akan masuk Islam. Dan aku tahu tidak ada obat yang dapat menyembuhkan dia. Sampai satu saat anak perempuanku mendengar suara adzan itu.

Ia bertanya, “Suara apakah yang tidak enak ini? Suara ini sangat mengganggu telingaku. Belum pernah dalam hidupku aku mendengar suara sejelek itu di tempat-tempat ibadat atau gereja.” Saudara perempuannya menjawab, “Suara itu namanya adzan, panggilan untuk beribadat bagi orang-orang Islam. Adzan adalah ucapan utama dari seorang yang beriman.”

Ia hampir tidak mempercayainya. Dia bertanya kepadaku, “Bapak, apakah betul suara yang jelek itu adalah suara untuk memanggil orang sembahyang?” Ketika ia sudah diyakinkan bahwa betul suara itu adalah suara adzan, wajahnya berubah pucat pasi. Dalam hatinya tersimpan kebencian kepada Islam. Begitu aku menyaksikan perubahan itu, aku merasa dilepaskan dari segala kecemasan dan penderitaan. Tadi malam aku tidur dengan nyenyak. Dan kenikmatan serta kesenangan yang kuperoleh tidak lain karena suara adzan yang dikumandangkan muadzin itu.”

Orang kafir itu melanjutkan, “Betapa besar rasa terima kasih saya padanya. Bawalah saya kepada muadzin itu. Aku akan memberikan seluruh hadiah ini.” Ketika orang kafir itu bertemu dengan si muadzin itu, ia berkata, “Terimalah hadiah ini karena kau telah menjadi pelindung dan juru selamatku. Berkat kebaikan yang telah kau lakukan, kini aku terlepas dari penderitaan. Sekiranya aku memiliki kekayaan dan harta benda yang banyak, akan kuisi mulutmu dengan emas.”

Jalaluddin Rumi mengajarkan kepada kita sebuah cerita yang berisi parodi atau sebuah sindiran yang sangat halus. Adzan yang dilantunkan dengan buruk dapat menghalangi orang untuk masuk Islam. Dari cerita di atas kita tahu keberagamaan yang dimaksudkan untuk membawa orang kepada agama berubah menjadi sesuatu yang menghalangi orang untuk memasuki agama.

Dengarlah nasihat Jalaluddin Rumi setelah ia bercerita tentang itu. “Keimanan kamu wahai muslim, hanyalah kemunafikan dan kepalsuan. Seperti ajakan tentang adzan itu, yang alih-alih membawa orang ke jalan yang lurus, malah mencegah orang dari jalan kebenaran. Betapa banyak penyesalan masuk ke dalam hatiku dan betapa banyaknya kekaguman karena iman dan ketulusan.

Saudaraku Rahimakumullah
Kisah Rumi tersebut menjadi relevan untuk diangkat khususnya di bulan Ramadhan, dimana di banyak Masjid di lingkungan kita, lengkingan suara Loudspeaker dan TOA Masjid seolah-olah bersaing setiap menjelang Maghrib, saat shalat Isya’ dan Taraweh dan saat membangunkan sahur.

Para Pengurus Masjid pasti tahu, bahwa di sekitar masjid di mana pun, tinggal orang-orang dengan berbagai latar belakang. Tak sedikit dari mereka yang non muslim. Yang muslim pun berbeda-beda kondisinya. Ada orang sakit yang membutuhkan istirahat. Ada yang sakit dan ada anak bayi yang sangat sensitif pada suara berisik. Ibu sang bayi juga perlu istirahat setelah mungkin beberapa kali terbangun untuk mengurus bayinya. Dan masih banyak lagi orang yang punya alasan untuk merasa terganggu.

Sementara itu, aktivitas Taraweh, Tadarus dan membangunkan orang sahur tadi tak urgent2 banget dalam syi’ar Islam. Terlebih zaman sekarang jam weker dengan alarm yang bisa disetel sesuai kebutuhan tersedia dengan harga yang bisa dijangkau oleh hampir semua orang. Fasilitas ini bahkan tersedia pada berbagai peralatan elektronik seperti HP. Karenanya, biarkanlah setiap orang mengatur sendiri jam berapa dia hendak bangun untuk sahur atau shalat tahajud, tanpa perlu ada seseorang yang secara khusus membangunkannya, karena aktivitas itu lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya.

Di luar aktivitas membangunkan orang sahur tadi, dari mesjid-mesjid kita memang sering berkumandang suara dengan volume tinggi pada jam-jam tertentu, termasuk pada saat di mana orang butuh istirahat. Ini meliputi suara azan, pembacaan ayat suci Al-Quran, ceramah, zikir, dan doa. Pada momen tertentu juga berkumandang musik qasidah.

Pertanyaannya, perlukah semua itu? Lebih penting lagi, apakah hal itu dapat dibenarkan secara syar’i?

Azan memang perlu dikumandangkan sedemikian rupa agar orang-orang bisa mendengarnya. Tapi di perkotaan yang padat, di dekat rumah kita bisa terdapat 3-4 mesjid/ mushalla. Maka, perlukan semua mesjid/mushalla mengumandangkan azan dengan volume suara yang keras pada secara bersamaan?

Pada saat mendengar azan, kita disunatkan untuk menjawabnya dengan bacaan tertentu. Kalau suara azan datang dari berbagai arah, tentu kita akan sedikit bingung untuk memilih azan mana yang harus kita jawab.

Kalau kita ingat fungsinya untuk memanggil, maka azan melalui pengeras suara seharusnya cukup dilakukan di mesjid-mesjid tertentu, sedangkan mesjid lain cukup mengumandangkannya tanpa pengeras suara sampai ke luar Masjid.

Dalam salah satu ceramahnya, Ustadz Quraish Shihab pernah bercerita bagaimana Mufti /Ulama Mesir pernah marah pada suatu Masjid yang suara adzan Subuhnya mengganggunya ia yang sedang menulis Kitab. Dan Mesir, sebuah negara yang dikenal telah menghasilkan banyak ulama besar.

Pembacaan ayat suci Al-Quran melalui pengeras suara juga punya masalah syar’i yang mirip. Kalau dibacakan ayat Quran, kita punya kewajiban untuk mendengarnya. Ketika ayat Quran dikumandangkan dengan pengeras suara, ia menjangkau kalangan luas yang tak selalu dalam keadaan siap untuk mendengar. Lantas, siapa yang berdosa kalau Firman Allah yang agung itu diabaikan orang?

Tentang zikir dan doa, ada hadist yang melarang kita untuk berdoa dan berzikir dengan suara keras. Kata Rasulullah,:”Kalian tidak sedang menyeru pada zat yang tuli, karenanya pelankanlah suaramu”. Kalau Rasulullah SAW saja melarang kita berzikir dan berdoa dengan suara keras, mengapa kita memandang perlu untuk menggunakan pengeras suara saat berdoa dan berzikir? Siapa panutan kita dalam hal ini?

Sebagian Ulama berdalih bahwa penggunaan pengeras suara itu untuk kepentingan syiar. Setahu saya, syiar itu bertujuan untuk menyiarkan hal-hal yang baik dan menarik tentang Islam. Lalu, adakah nilai syiar pada hal-hal yang mengganggu orang lain? Terlebih lagi, adakah nilai syiar dalam hal-hal yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah?

Yang saya khawatirkan, dengan alasan aktivitas ibadah, kita justru menjadi sombong. Karena merasa sedang menyembah Allah, kita lalu menganggap bahwa kita boleh melakukan apa saja, termasuk hal-hal yang mengganggu orang lain. Kalau itu terjadi, masihkan kita punya keberanian untuk mengklaim bahwa Islam itu adalah “rahmatan lil alamiin?”

Seperi kisah Jalaluddin Rumi di atas yang , dimana suara adzan yang dilantunkan dengan buruk dapat menghalangi orang untuk masuk Islam. Dari cerita di atas kita tahu keberagamaan yang dimaksudkan untuk membawa orang kepada agama berubah menjadi sesuatu yang menghalangi orang untuk memasuki agama.

Saya ulangi nasihat Jalaluddin Rumi setelah ia bercerita tentang itu. “Keimanan kamu wahai muslim, hanyalah kemunafikan dan kepalsuan. Seperti ajakan tentang adzan itu, yang alih-alih membawa orang ke jalan yang lurus, malah mencegah orang dari jalan kebenaran. Betapa banyak penyesalan masuk ke dalam hatiku dan betapa banyaknya kekaguman karena iman dan ketulusan. Wallahualam bissawab.

Afwan kalau ada yang kurang berkenan,

Lebak Bulus, 28 Agustus 2009, jam 22.00 WIB

Semoga Bermanfaat,
Wassalamualaikum wr.wb
Imam Puji Hartono (IPH)

1 komentar:

  1. Ya .

    Karna

    Iblis dan shetan

    Lari sambil menutup telinga dan sambil marah .menjerit sampe ke dalam bumi yg paling dalam ketika mendengar suara azhan

    Begitu juga yg menulis blog ini

    Dan semua yg benci dan marah ketika mendengar suara panggilan Allah Azza Wajaalla

    Ingat suara azhan itu bukan suara manusia

    Tetapi hakikatnya Allah lah yang berseru

    Wahai iblis dan manusia pengikut iblis

    Sampai kapanpun kau akan sakit medengar

    Lafaz. Lailahaillauloh.

    Neraka merindukanmu

    Dan kalian akan abadi di dalamnya . ..amien

    BalasHapus