Rabu, 14 Oktober 2009

TAUHID – DIMANA ALLAH? sepertinya sepele namun menentukan……

TAUHID – Dimana ALLAH? sepertinya sepele namun menentukan……

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
إِنَّ الْحَمْدَ ِللهِ ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا ، وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا ، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. أَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّد
.
KEAGUNGAN TAUHID

Hadis riwayat Abdullah bin Masud ra., ia berkata: Rasulullah shalallahu alaihi wassalam. bersabda: Siapa yang meninggal dalam keadaan menyekutukan Allah dengan sesuatu, maka ia masuk neraka. Dan aku (Abdullah) sendiri berkata: Siapa yang meninggal dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan apa pun, niscaya ia masuk surga. (Shahih Muslim No.134)

Hadis riwayat Abu Dzar ra., ia berkata: Nabi Muhammad shalallahu alaihi wassalam. bersabda: Jibril alaihissalam. mendatangiku dengan membawa kabar gembira bahwa barang siapa di antara umatmu meninggal dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, maka ia masuk surga. Aku (Abu Dzar) bertanya: Meskipun ia berzina dan mencuri? Nabi menjawab: Meskipun ia berzina dan mencuri. (Shahih Muslim No.137)

Dua hadits di atas menunjukkan keagungan tauhid yang menyebabkan pelakunya masuk ke dalam surga. Namun sangat disayangkan di zaman sekarang ini banyak fitnah dan kerusakan yang tersebar, hal ini disebabkan jahilnya/bodohnya kaum muslimin terhadap agamanya dan ulama-ulama jahat/su’ yang bahu membahu menyebarkan kesesatan di tengah umat ini. Salah satu talbis/pengkaburan yang dilakukan adalah bolehnya bertawassul/memohon doa di makam orang shalih dengan maksud mereka orang shalih yang sudah mati tsb sebagai perantara kepada Allah. Dan berkata bahwa ini hanyalah masalah khilafiyah/perbedaan (pokoknya semua khilafiyah, padahal ini adalah khilafiyah TADHADH/bertentangan dan syadz/ganjil karena melawan dalil yang qathi/jelas) Padahal Allah sendiri sudah membantah hal ini dengan setegas-tegasnya di dalam Alquran:

وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ قُلْ أَتُنَبِّئُونَ اللَّهَ بِمَا لا يَعْلَمُ فِي السَّمَاوَاتِ وَلا فِي الأرْضِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafaat/perantara kepada kami di sisi Allah”. Katakanlah: “Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) di bumi?” Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka mempersekutukan (itu).(QS. Yunus 10)

Di dalam ayat ini Allah dengan tegas dan jelas mengatakan bahwa Allah tidak membutuhkan perantara baik di langit (malaikat) dan di bumi (orang-orang shalih), bahkan Allah tidak mengetahuinya baik di langit maupun di bumi bahwa adanya perantara tsb. Kemudian datang orang-orang yang dengan sangkaannya bahwa orang shalih yang sudah mati adalah perantara/wasilah kemudian mereka bertawassul, berdoa dan shalat di kuburan orang shalih adalah hal yang baik padahal tidak ada satupun nash alquran dan al hadits memerintahkannya tawassul yang seperti ini.
Yang diperbolehkan hanya :
Pertama : Tawassul dengan Asmâ`, shifât dan af’âl (perbuatan) Allôh ‘Azza wa Jallâ
Kedua : Tawassul dengan Imân kepada Allôh dan Rasul-Nya
Ketiga : Tawassul dengan kelemahan dan kerendahan diri
Keempat : Tawassul dengan amal shâlih
Kelima : Tawassul dengan do’a orang yang shâliĥ yang masih hidup (bukan yang sudah mati).
Banyak orang yang tidak dapat membedakan antara istighatsah(minta pertolongan/doa) kepada orang hidup dan istighatsah kepada orang mati.

Firman Allah :
“Tidaklah sama orang yang hidup dengan orang yang mati.” (Fathir : 22).
“Nabi Musa dimintai tolong oleh seorang dari golongannya untuk mengalahkan musuh orang itu.” (Al-Qashah : 15).

Ayat ini menceritakan tentang seorang yang minta tolong kepada Musa agar melindunginya dari musuhnya dan Musa pun menolongnya:
“Dan Musa meninjunya sehingga matilah musuh itu.” (Al-Qashash : 15)

Adapun orang mati tidak boleh kita meminta tolong kepadanya karena ia tidak dapat mendengar do’a kita. Andaikata mendengar pun ia tidak akan dapat memenuhi permintaan kita karena ia tidak dapat melakukannya. Firman Allah :
“Apabila kamu berdo’a kepada mereka, mereka tidak dapat mendengar do’a kamu dan seandainya mereka dapat mendengar, mereka tidak dapat memenuhi permintaanmu. Dan pada hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu.” (Fathir : 14).

Hal ini sebenarnya hanyalah pengulangan tingkah laku kaum musyrikin dari zaman nabi-nabi terdahulu seperti kaum nabi Hud, Nabi Shalih, nabi Nuh alaihissalam yang menyembah berhala-berhala orang shalih dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala, mereka awalnya hanya berdoa di kuburan orang shalih tersebut kemudian lama kelamaan karena semakin bodohnya masyarakat dan hilangnya ilmu maka dibuatlah patung-patung orang shalih tersebut agar lebih nyata dan jelas untuk disembah. Hal inilah puncak kekufuran mereka ialah karena terlalu memuja orang yang shaleh dikalangan mereka (al-ghulu fi hubbi as-solihin) dan inilah permulaan berlakunya syirik di atas muka bumi ini. Hal ini diceritakan dalam firman Allah :

{Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi khabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan diantara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.} [Al-Baqarah : 213].

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu telah mengambil riwayat Ibnu Abbas radhiallahu anhu ketika menafsirkan ayat ini. Kata Abdullah Ibnu Abbas: ”Jarak di antara nabi Adam dan nabi Nuh alaihissalam ialah sepuluh kurun. Semua manusia pada waktu itu berpegang dengan Syariah yang hak, kemudian mereka berselisih kerana masalah yang dipegang mengikut pendapat masing-masing. Maka Allah mengutuskan para nabi sebagai mubassyirin (pemberi khabar gembira) dan munzirin (pemberi peringatan). Rasul yang pertama diutuskan selepas nabi Adam ialah nabi Nuh alaihissalam”. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 1/237].

وَقَالُوا لا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلا سُوَاعًا وَلا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا
Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa’, yaghuts, ya’uq dan nasr”. (QS. NUH : 23)

Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan daripada Ibnu Abbas radhiallahu anhu katanya: ”Lima berhala tersebut Wadd, suwaa’, yaghuts, ya’uq dan nasr adalah nama-nama orang shalih terdahulu sebelum umat nabi Nuh alaihissalam. Apabila mereka meninggal dunia, syaitan mengajar (membujuk) kaumnya agar mereka membuat patung-patung yang menyerupai orang shaleh tadi, kemudian diletakkan di majelis tempat yang mereka biasa duduk semasa hayatnya dan meletakkan nama patung itu seperti nama orang shalihnya sendiri. .(Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Nuh 23)

Maka pengikut orang shalih itu melaksanakan ajaran syaitan tersebut. Apabila golongan yang membuat patung tadi telah meninggal dunia dan datang pula generasi lain yang tidak mengetahui asal-usul kejadian patung tersebut, lalu mereka pun turut ikut menyembahnya. Imam Ibnu Katsir juga menyebut kisah ini sedemikian. Riwayat lain ada menceritakan tujuan para pengikut itu mengukir patung pada awalnya karena mereka takut pegangan agama mereka menjadi lemah, lalu mereka mengukir patung-patung syeikh tersebut untuk mengingati kembali ajaran dan amalannya.

Apabila mereka melihat patung syeikh mereka, akan bertambah kuat semangat untuk beribadat. Pada peringkat awalnya mereka tidak menyembahnya, tetapi setelah berlalunya masa yang lama, mereka mulai menyembah dan menghormatinya dengan sepenuh hati mereka.

Waktu yang panjang berlalu, orang-orang alim dikalangan mereka telah meninggal dunia, maka syaitan membisiki lagi: ”Sesungguhnya orang-orang shaleh sebelum kamu tidak mengukir patung-patung syeikh mereka kecuali untuk meminta syafaat (pertolongan) melaluinya kepada Allah.” Maka bermulalah sejarah penyembahan berhala, tuhan yang lain selain daripada Allah subhanahu wa ta’ala. Lalu selepas itu Allah subhanahu wata’ala mengutus nabi Nuh alaihissalam untuk mengembalikan mereka kepada agama nenek moyang mereka nabi Adam alaihissalam Semasa berlakunya banjir pada zaman nabi Nuh alaihissalam kesemua patung-patung yang disembah tersebut telah ditenggelamkan ke dalam perut bumi.

Begitu juga umat nabi Muhammad shalallahu alaihi wassalam yang menyembah Hubal, Laata, dan Uzza. Al Laata adalah berhala terbesar jahiliyyah yang dahulunya mengadukkan tepung untuk para jamaah haji. Setelah meninggal maka orang-orang mendatangi kuburnya.(Mujahid). Hal ini kemudian diulang lagi oleh kaum muslimin di berbagai belahan dunia, mungkin contoh yang paling nyata adalah para quburiyyun(penyembah kubur) yang ada di Indonesia yang sering datang berdoa ke makam para wali (Sunan Ampel, Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati, Habib Ali, dll) dan juga quburiyyun di Yaman yang mendatangi kuburan yang dianggap kuburan Nabi Hud alaihissalam dan berthawaf disana, lihat disini YOUTUBE.

Untuk para Sufi Quburiyyun yang berlebihan dalam menempatkan kedudukan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wassalam apalagi hanya orang shalih yang sudah mati, ingatlah sabda Rasulullah shalallahu alaihi wassalam : sebagaimana riwayat Umar Al-Khattab radhiallahu anhu, maksudnya: “Janganlah kamu terlalu memujaku (sehingga melampaui haq sebagai seorang nabi dan rasul kepada derajat ketuhanan dengan mengetahui perkara ghaib dan sebagainya)Sesungguhnya aku adalah seorang hamba, maka katakanlah: Hamba Allah dan Rasul-Nya sebagaimana kaum Nasrani memuja nabi Isa bin Maryam. .” HR Bukhari dan Muslim].

ANCAMAN UNTUK PELAKU KESYIRIKAN

إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.(QS. An Nisaa 48 & 116)

Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan bahwasanya Dia tidak akan mengampuni seseorang yang menyekutukan-Nya dengan sesuatupun dari para makhluk dan Dia mengampuni dosa–dosa selain daripada syirik, baik dosa yang kecil maupun yang besar. Hal inii sesuai dengan kehendak-Nya dan hikmahnya untuk mengampuni. Adapun dosa-dosa selain syirik sesungguhnya Allah telah menjadikan baginya banyak sekali sebab-sebab pengampunannya, seperti kebaikan-kebaikan yang menggugurkan dosa, musibah-musibah yang menghapus dosa dunia, atau seperti doa-doa kaum mukminin untuk sebagian yang lain, atau dengan syafaatnya orang-orang yang memberikan syafaat, dan yang lebih dari itu semua adalah rahmat Allah dimana yang paling berhak mendapatkan itu semua adalah para ahli iman dan ahli tauhid..(Tafsir As Sa’di Surah An Nisaa ayat 48)

Hal ini berbeda dengan ahli syirik yang telah menutup pintu-pintu ampunan bagi dirinya sendiri dan juga telah menutup pintu-pintu rahmat, sehingga tidak berguna amal-amalnya di dunia dan musibah tidak bermanfaat bagi mereka namun hanyalah sebagai adzab buat mereka. Hal ini sesuai firman Allah :
وَمَا دُعَاءُ الْكَافِرِينَ إِلا فِي ضَلالٍ
..Dan doa (ibadah) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka. (QS Ar Ra’d 14)

أُولَئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا
Mereka itu orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kafir terhadap) perjumpaan dengan Dia. Maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.(QS. Al Kahfi 105)

Adapun bagi orang-orang yang bertobat sebelum kematian menjemputnya maka akan diampuni dosa syirik atau pun dosa selainnya, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala:
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Az Zumar 53)

SALAH SATU CONTOH TAUHID yang MENURUT MASYARAKAT AWAM SEPELE namun INILAH AQIDAH AHLUS SUNNAH yang WAJIB DIKETAHUI

قَالَ مُعَاوِيَةُ بْنُ حَكَمُ السُّلَمِى وَكَانَتْ لِيْ جَارِيَةٌ تَرْعَى غَنَمًا لِيْ اُحدٍ وَالْجُوَانِيَةِ فَاطَّلَعْتُ ذَاتَ يَوْمٍ فَاِذَا بِالذِّئْبِ قَدْ ذَهَبَ بَشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا وَاَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِيْ آدَمَ اَسَفَ كَمَا يَاْسفُوْنَ . لَكِنِّيْ صَكَكْتُهَا صَكَّةً فَاَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَظَّمَ ذَلِكَ عَلَيَّ . قُلْتُ : يَارَسُوْلَ اللهِ اَفَلاَ اَعْتِقُهَا قَالَ: اِئْتِنِيْ بِهَا. فَقَالَ لَهَا: اَيْنَ اللهُ قَالَتْ : فِى السَّمَآءِ . قَالَ: مَنْ اَنَا قَالَتْ : اَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ. قالَ : اَعْتِقْهَا فَاِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ.
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَ
“Berkata Muawiyah bin Hakam As-Sulami: Aku memiliki seorang hamba wanita yang mengembalakan kambing di sekitar pergunungan Uhud dan Juwaniyah. Pada suatu hari aku melihat seekor serigala menerkam dan membawa lari seekor kambing gembalaannya. Sedang aku termasuk seorang anak Adam kebanyakan. Maka aku mengeluh sebagaimana mereka. Karenanya wanita itu aku pukul dan aku marahi. Kemudian aku menghadap Rasulullah, maka baginda menyalalahkan aku. Aku berkata: Wahai Rasulullah! Adakah aku harus memerdekakannya? Jawab Rasulullah: Bawalah wanita itu ke sini. Maka Rasulullah bertanya kepada wanita itu. Di mana Allah? Dijawabnya: Di langit. Rasulullah bertanya: Siapakah aku? Dijawabnya: Engkau Rasulullah. Maka baginda bersabda: Merdekakanlah (bebaskanlah) wanita ini, kerana dia adalah seorang mukminah”

“Dari Sa’id al-Khudri sesungguhnya Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam telah bersabda: Tidakkah kamu mempercayai aku sedangkan aku yang dipercayai oleh ( Zat) Yang berada di atas langit Yang menurunkan khabar (wahyu) pada waktu pagi dan petang?” (H/R Ahmad. 3/4. Bukhari. No. 4351. Muslim, bab az-Zakah. 144. Ahmad, Abu Daud, an-Nasaii dan Baihaqi)

اَلرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى.
“Tuhan Yang Maha Pemurah, bersemayam di atas ‘Arsy“. (QS. Taha, 20:5)
“Dari Ibn Mas’ud berkata: Bersabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam: ‘Arasy itu berada di atas air dan Allah berada di atas ‘Arsy. Tidak satupun dari amal kamu yang tersembunyi dari pengetahuanNya. Dan pada riwayat yang lain: Dia Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (H/R Abu Daud, Abdullah bin Ahmad, Tabrani dan Baihaqi (Hadis hasan, sanadnya sahih)

“Sesungguhnya Tuhanmu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. Lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy“. (QS. Al-A’raaf, 7:54)

“Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy…”. (QS. As-Sajadah, 32:4)

Semua penjelasan di atas melalui dalil-dalil dari al-Quran dan hadis-hadis yang sahih mengkhabarkan bahawa Allah bersemayan di ‘ArasyNya yang berada di langit, maka semua dalil-dalil tersebut adalah juga sebagai hujjah untuk menolak alasan mereka yang mengharamkan seseorang dari bertanya “Di mana Allah berada?” atau (اَيْنِيَّة الله) “Di mananya Allah”. Dan hadits ini dalil yang jelas bahwa Allah tidak berada dimana-mana sebagaimana sangkaan kaum sufi dan mu’tazilah (Lihat:Imam Abul Hasan Al Asy ‘ari dalam Al-Ibanah an-Usul ad-Dianah. Hlm. 97), mereka berdalil bahwa Allah sangat dekat dengan urat leher sendiri (QS. Qaaf 16), ayat “Kemanapun kamu menghadap di sanalah wajah Allah”(QS. Al Baqarah 115), “Dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hadid: 4). Namun kata ma’a tidak berarti menunjukkan tempat seseorang berada. Sebab dalam percakapan kita bisa mengatakan bahwa aku menyertaimu, meski pada kenyataannya tidak berduaan. Sebab kebersamaan Allah Subhanahu wa-Ta’ala dalam ayat ini adalah berbentuk muraqabah atau pengawasan.

Seperti ketika Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam berkata kepada Abu Bakar radhiallahu anhu di dalam gua,”Jangan kamu sedih(LA TAHZAAN), Allah beserta kita(Innalaha ma’ana).” Ini tidak berarti Allah Subhanahu wa-Ta’ala ikut masuk gua. Juga ketika Musa alaihissalam berkata, “Bersamaku tuhanku,” tidak berarti Allah Subhanahu wa-Ta’ala ada di pinggir laut merah saat itu.

Hal ini seperti kita yang mengucapkan “kami keluar pada malam hari purnama dan bulan mengikuti kami kemanapun kami pergi”, apakah hal ini bahwa bulan mengikuti kita dengan sebenar-benarnya??tentu tidak bukan…Jadi maksud ayat2 tersebut adalah ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu sesuai perkataan Ibnu Abbas, Imam Malik dan Sufyan Ats Tsauri.


Ibn Abbas, ad-Dahhak, Malik, Sufiyan ats-Tsauri dan banyak lagi berkata:
“Dia (Allah) bersama kamu: Yaitu yang bersama kamu ialah ilmuNya”.(1)
وَلاَ يُحِيْطُوْنَ بِهِ عِلْمًا.
“Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmuNya”.
(QS. Taha, 20:110)

IMAM MALIK berkata : “Allah berada di atas langit sedangkan ilmuNya di tiap-tiap tempat (di mana-mana), tidak tersembunyi sesuatupun daripadaNya” (2)
Ibnu Khuzaimah berkata:“Barangsiapa TIDAK menetapkan Allah Ta’ala di atas ‘ArasyNya dan Allah istiwa di atas tujuh langitNya, maka ia telah kafir dengan Tuhannya”. (3)
Bertanya kepada seseorang “Di mana Allah” untuk membetulkan akidahnya adalah sunnah, karena Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa-sallam sendiri telah bertanya kepada seorang hamba perempuan dengan pertanyaan: “Di mana Allah?”.

Berdasarkan hadis ini, maka siapakah yang lebih berhak diikuti dan wajib dijadikan contoh jika bukan Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa-sallam, beliau tidak pernah mengikut hawa nafsunya apabila memperkatakan atau menjelaskan sesuatu tentang agama Allah. Oleh itu, seseorang yang bertanya “Di mana Allah?” kita mesti dapat menjawabnya.

Telah dijelaskan di dalam al-Quran, mutawatir di sunnah RasulNya serta ijmak para ulama Salaf as-Shalih bahwa Allah Ta’ala di langit. Dia bersemayam di atas ‘ArsyNya. (4)

Siapa yang tidak menerima dan menolak berita ini, dia adalah seorang yang kufur terhadap wahyu Allah karena berita yang menjelaskan Allah di langit dan bersemayam di atas ‘ArsyNya merupakan wahyu dari Allah Subhanahu wa-Ta’ala.

Footnote :
1. Lihat: العقيدة الاسلامية من الكتاب والسنة الصحيحة hlm. 18.
2. Lihat: Mukhtasar al-Ulum, Hlm. 140. Imam Adz-Dzahabi. Tahqiq al Albani.
3. Lihat: Ma’rifah Ulum al-Hadis. Hlm. 84. Riwayat yang sahih, dikeluarkan oleh al-Hakim.
4. Lihat: علاقات الاثبات والتفويض بصفات رب العالمين
Maraji’/Daftar Pustaka:
-As Sa’di, Abdurrahman bin Nashir, Tafsir As Sa’di 2 (Taisirul al Karim ar Rahman fi Tafsir Kalam Al Mannan).Penerbit Pustaka Sahifa, 2007.
-Abdurrahman, bin Hasan Alu Syaikh, Fathul Majid (Syarah Kitabut Tauhid).Penerbit Pustaka Azzam, 2002. 1012 hal.
-Rasuldahri.com
-Darussalaf.or.id
-Belajar-tauhid.blogspot
Abu Yahya Al Minankabawi Gito Pramagista
Jakarta 22 September 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar