Senin, 22 Februari 2010

Aku Harus Pulang (Cerpen)

Rahmat Buldani 11 November 2009

Lima tahun ia berkiprah mengabdikan diri sebagai tenaga sukarelawan, Lima tahun itu itu pula apa yang ia rasakan tampaknya akan berakhir sekarang dengan tangisan, tangisan yang haru tentunya. tangisan dari orang-orang yang selalu mencintainya, dari orang-orang yang selalu merasa nyaman ketika berdekatan dengannya dan tangisan dari orang-orang yang selalu merasa kehilangan ketika ditinggalkannya. Ia nampaknya merasa berat untuk meninggalkan tempat itu. Kotor dan berantakan begitulah gambaran tempat ia berada sekarang, sebuah pemukiman penduduk yang kumuh dan kusam yang terbuat dari triplek dan bata beratapkan seng berhimpitan tak teratur. Aneh, sekumuh apapun ia selalu merasa nyaman berada disana. Ia membaktikan diri sebagai dokter pada sebuah rumah sakit darurat Ummu Shabrah an naqb sebuah wilayah di dekat jalur Gaza. Dan ia tinggal tak jauh dari tempat yang kumuh itu. Tapi sekarang tempat yang membuatnya nyaman itu harus ia tinggalkan.
“sudah siap dokter Mahmud?” tanya salah seorang yang berjas hitam, sepertinya orang penting
“sebentar lagi pak” “jangan lupakan kami pak dokter” seru salah seorang diantara kerumunan dengan lelehan air mata “selamat tinggal saudara-saudaraku” kata orang yang dipanggil Mahmud.

itulah ia Mahmud, seorang dokter muda asal Mesir yang mengabdikan diri menjadi seorang dokter relawan di jalur gaza. Ia merasa tergugah hatinya untuk membantu mereka rakyat palestina, membantu sesama saudaranya.

Lima tahun yang lalu ia lulus kuliah dan langsung menjadi seorang dokter, dokter muda yang berbakat. Semenjak lulus dari kampusnya Jamiah Ain Syam Kairo ia langsung tugas di salah satu rumah sakit di kota itu juga. Setahun ia bekerja di rumah sakit tersebut. Tiba-tiba suatu waktu ia menyaksikan sebuah siaran televisi yang menayangkan peperangan di palestina. disana ia menyaksikan korban luka-luka yang membutuhkan perawatan. Karena kekurangan tenaga dan fasilitas, perawatannya terkesan apa adanya. Hati dokter muda itu berdesir menyaksikan semua itu, ia meneteskan air mata melihat nasib orang-orang yang ditayangkan di televisi itu. jiwanya merasa terpanggil untuk memberikan setetes bantuan pada sesama saudara. Maka ia pun bergabung bersama pasukan PBB untuk membantu korban keganasan perang yang telah disaksikannya.

Tak ada yang menyetujui ketika ia ungkapkan keinginan itu pada keluarganya, tapi dengan kegigihannya merekapun merestui. Atas nama kemanusiaan iapun terbang menyeberangi lautan melintasi daratan yang terhampar demi sebuah maksud mulia. Tak ada keraguan dalam jiwanya untuk menuntaskan tugas mulia itu, dalam hatinya orang-orang muslim palestina yang tidak punya apa-apa berjuang habis-habisan mempertahankan haknya, dan ia yang masih kuat, masih punya kemampuan mestinya bergabung dengan mereka untuk berjuang bersama-sama. tiba-tiba...

“sudah sampai akhi” kata seseorang yang berada disamping yang kebetulan sama-sama berangkat satu kapal dengannya
“oh…”ia tersentak kaget dari khayalannya,
“kamu kenapa akhi? masih memikirkan rumah?”
“ya.. saya memikirkan rumah saudara-saudaraku di palestina, dan aku akan menjadi bagian dari mereka”
“masyaallah kamu memang pejuang sejati akhi”
“insyallah” Mahmud hanya tersenyum.
“Allah Yubarik Fik” seorang yang di sampingnya lagi berkata sambil menengedahkan tangan. lalu mereka diam dalam hening

Dua tahun berlalu
“assalamualaikum” sapa Mahmud
“wa’alaikum salam, akhi Mahmud, silakan masuk”
“bagaimana kabarmu akhi Haikal”
“baik, cukup baik”

jawab orang yang dipanggil Haikal, dulunya ia salah seorang pasien tepatnya korban yang dirawat oleh Mahmud. ia merupakan salah satu korban keganasan tentara-tentara israel. Malang nasibnya salah satu kakinya terluka dan menyebabkan ia cacat, tapi ia tidak pernah mengeluh dengan keadaan seperti itu. Ia selalu menampakkan wajah yang riang setidaknya begitulah yang disaksikan oleh Mahmud ketika bertemu dengannya.

“ini aku bawakan bahan makanan untukmu dan Ahmad”
“terima kasih akhi” dengan penuh syukur lelaki itu menerima makanan yang dibawa oleh Mahmud, tidak istimewa makanan itu, hanya gandum dan beberapa kilo beras, tapi baginya itu merupakan rizki yang tak terkira. “bagaiamana keadaan Ahmad” “ia cukup sehat, lukanya lumayan membaik”
“syukurlah, aku selalu mengkhawatirkannya”

Cukup lama Mahmud berada di rumah itu, memang seperti itulah kebiasaan yang sering terjadi, ia selalu merasa betah berlama-lama bersama Haikal. banyak sekali yang diceritakan oleh Haikal kepadanya. begitupun Mahmud menceritakan sikap pemerintah Mesir yang seakan-akan menutup mata kepada tetangganya sendiri. Mahmud tersenyum getir melihat nasib Haikal dan keluarganya. entahlah apa lagi yang dia punya sekarang selain ahmad buah dari pernikahan dengan istrinya khadijah. Istrinya sendiri menjadi syahidah ditembak oleh tentara Israel. Alasannya, suaminya dituduh salah satu anggota front pejuang Hamas. tentu saja ia salah satu kejaran Mosad dan tentara zionis, ia pernah dijebak oleh konspirasi pihak zionis namun ia dapat menyelamatkan diri. Sayang ketika berlari kakinya kena tembak. ia tetap berlari menyelamatkan diri sampai akhirnya ia berhasil sembunyi di suatu rumah kosong. Tak habis di situ, tentara zionis melacak dan akhirnya menemukan rumah Haikal, mereka menggedor pintu rumah Haikal dan memaksa istrinya untuk memberitahukan keberadaan Haikal, namun dengan kejamnya mereka menghujani istri Haikal dengan peluru. Dalam luka Haikal berjalan terpincang-pincang dan akhirnya sampai di sebuah tempat dekat kamp relawan. disanalah Haikal bertemu dengan Mahmud.

Setelah gencatan senjata antara pihak pejuang Hamas dengan zionis. Mahmud tak ikut pulang dengan pasukan relawan. ia malah meminta untuk menetap sementara dengan pasukan penjaga perdamaian. Permintaanya dikabulkan dengan syarat tidak lebih dari lima tahun. Ia ditempatkan di salah satu rumah sakit yang tidak jauh dari jalur gaza.

Tadinya Mahmud tidak begitu akrab dengan Haikal, namun karena Haikal sering datang untuk memeriksakan Ahmad akhirnya lama kelamaan terjalinlah sebuah ikatan persahabatan, Mahmud sering bertanya dan ngobrol tentang perkembangan palestina. Bahkan karena keakrabannya Mahmud menganggap Haikal sebagai kakak kandung sendiri. Kakak bukan hanya sekedar kakak tapi juga sebagi guru kehidupannya. Mahmud banyak mengambil pelajaran dari ma’na keterasingan, berharganya suatu kebebasan dan kemerdekaaan. Rakyat palestina tak terkecuali Haikal hidup dalam kekurangan, selalu dihantui rasa takut. Pelajaran itulah yang tak ia dapatkan dimanapun kecuali di negeri yang terus terjajah ini.

Setelah cukup lama mengobrol dengan Haikal, akhirnya Mahmudpun pamit. ia meneruskan perjalanannya mengunjungi rumah-rumah penduduk. dari satu rumah ke rumah lainnya, untuk sekedar menanyakan kabar, atau hanya membawa obat seadanya. Ia terkenal baik dan dermawan walaupun ia bukan warga negara asli, makanya semua orang mencintainya, mencintai kebaikan-kebaikannya. Betul, mereka sangat membenci pemerintah Mesir yang selalu menutup mata dengan semua yang terjadi bahkan cenderung fro terhadap zionis, namun terhadap warganya terutama Mahmud mereka selalu mengelu-ngelukan kebaikannya.

Ketika ia dalam perjalanan pulang dari kunjungan itu, entah dari mana asalnya terdengar suatu ledakan yang dahsyat
“Jdummmm”
“Dugggg !!!
Ia lihat kerumunan orang berlari, semuanya berlari menyelamatkan diri. Jalanan yang tadinya lengang kini disibukkan oleh banyak orang dan jeritan tangis anak-anak.

Ia ingat beberapa hari yang lalu ada suara yang sama seperti suara tadi, dan itu ternyata sebuah ledakan bom. Entah dari pihak mana yang memulai, yang jelas satu bangunan runtuh dan keluarga di rumah itu tak bernyawa kembali kepada sang penciptanya. Sekarang suara itu ia dengar lagi, dan ia tak curiga suara bom itu bersumber dari rumah salah seorang yang barusan dijumpainya. Karena alasan keamanan iapun lebih memilh untuk terus berjalan meneruskan perjalanannya. Ia mesti ke rumah sakit, tentunya dengan adanya korban rumah sakit membutuhkan dokter untuk merawatannya.

Ternyata benar apa yang ia duga, setelah beberapa jam banyak korban luka-luka yang butuh perawatan segera. Dengan sigap ia siapkan segalanya, Dengan dibantu oleh dokter yang lain ia kerahkan semua kemampuannya untuk membantu korban ledakan itu. Korban yang tidak tahu apa-apa, karena kebanyakan dari mereka adalah orang-orang sipil. Tiba-tiba tepat berada di suatu bangsal yang agak kotor karena darah ia terperangah kaget

“Haikal” serunya
“Tolong Akhi selamatkan anakku”
“ya… aku akan mencoba menolong kalian berdua”
“sabar akhi….”

Perkataannya harus terputus, teman yang sudah dianggap saudara itu menghembuskan napas untuk terakhir kalinya. Ia tersenyum sambil menyebut kalimat tauhid. Mahmud tak bisa membendung air matanya. Baru saja ia berkunjung ke rumahnya dan berbincang-bincang keadaan ia dan keluarganya, tapi tak lebih dari dua jam ia harus berpisah dengannya untuk selama-lamanya. Di bangsal lainya ia menemukan si kecil Ahmad kembali kepada pemiliknya dengan tangan kanan yang buntung. Sungguh Mahmud tak sanggup memandang untuk kedua kalinya. semua itu akibat perbuatan terkutuk yang hanya mengorbankan rakyat sipil yang tak bersalah.

Perdamaian yang digembar-gemborkan oleh zionis bersama plo perdamaian itu hanyalah isapan jempol belaka. Mereka yang mengadakan perjanjian dan mereka sendiri yang melaggarnya. semenjak gencatan itu sampai sekarang, sudah sering tejadi ledakan bom, dan ledakan itu meminta korban ratusan orang-orang yang tidak bersalah. Bahkan banyak diantaranya tak bisa diselamatkan.
Semenjak sahabatnya itu gugur ia bekerja tak kenal lelah, mungkin sebagai bayaran dari kegagalannya. Bayaran itu sekarang harus tuntaskan kepada orang-orang yang membutuhkan, ia lebih giat lagi dalam memberikan pertolongan kepada para korban. Tak ada yang ia harapkan dari semua itu, yang ada semua itu ia lakukan hanya karena atas dasar persamaan hak dan kemanusiaan.
Kegigihan itu mengantarkan ia menjadi orang yang sangat dicintai oleh semua orang. Karena bagi mereka Mahmud bukan hanya sekedar dokter melainkan seorang pembela dan pejuang ditengah-tengah mereka.

Tapi orang yang mereka cintai itu sekarang harus berpisah, pejuang itu harus pergi dari mereka. Mahmud harus dipulangkan ke negeri asalnya. Alasan keamanan membuat pemerintah Mesir mengambil tindakan-tindakan tegas untuk bisa memulangkannya. Walaupun mahmud sendiri meminta permohonan untuk bisa tinggal lebih lama lagi, tapi permohonan itu tidak dikabulkan oleh pemerintah.
Mahmud merasa berat untuk berpisah dengan mereka. bagi mahmud mereka bukan hanya pasien, tapi lebih dari itu mereka adalah keluarga dan saudaranya sendiri. Begitupun mereka tidak mengangap mahmud hanya sebagai dokter tapi ia merupakan pejuang yang tak terpisahkan dari mereka, bagian dari perjuangan rakyat palestina untuk mendapatkan haknya kembali.

Helikopter yang ditumpanginya akhirnya meningalkan tempat itu. Selama lima tahun itu ia merasakan bagaimana pedihnya diinjak-injak. Merasakan bagaimana berharganya sebuah kebebasan, merasakan arti sebuah kemerdekaan. Karena ia sungguh memahami ketidak bebasan, mamahami penjajahan, memahami perampasan hak dari negeri yang sekarang akan ditinggalkannya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar